Selasa, 12 Oktober 2010

Teroris yang Kini Menjadi Politis

Ahmad Dani
Kamis, 12 Agustus 2010 - 15:30 wib

Tak heran jika Presiden SBY mendadak menggelar sidang paripurna kabinet beberapa hari lalu salah satunya menanggapi isu penangkapan Amir Jamaah Anshorut Tauhid, Abu Bakar Ba'asyir. Presiden merasa sudah ada opini di masyarakat yang menggeser persoalan ini menjadi berbau politis.

Presiden pun langsung meluruskan teroris masuk dalam kategori pelanggaran hukum dan bukan isu politis.

Munculnya alasan politis dalam pengungkapan kasus terorisme dikarenakan sikap Densus 88 Antiteror yang tidak transparan dalam membongkar kasus teror. Selain selalu menembak mati beberapa aktor penting dari jaringan teroris.

Padahal, bagi beberapa kalangan menangkap hidup-hidup pentolan teroris bisa mengungkap "cadar" dari jaringan teroris yang kini seolah merambah Tanah Air. Tapi, anehnya, polisi dengan pandai mengatakan melakukan hal tersebut lebih mahal. Kenapa penanganan kasus ekstra ordinary crime, harus dihubungkan dengan untung rugi.

Namanya saja sudah ekstra, tentu penanganannya juga harus ekstra tak lagi biasa-biasa saja. Polisi juga dianggap terlalu menguasai semua perjalanan penanganan terorisme di Tanah Air.

Tak heran dengan semua runutan cerita itu belum lagi kejanggalan dan tindakan lebay dalam penangkapan semakin membawa kesan penanganan teroris kini masuk dalam ranah politis. Lebih gila lagi, Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW) Neta S Pane menuding ada bumbu persaingan calon Kapolri dalam penanganan kasus teroris. Meski semua itu dibantah oleh kepolisian.

Ke depan, ada baiknya juga penanganan teroris ini ditangani tidak hanya Densus 88 namun juga melibatkan pasukan khusus yang dimiliki TNI. Setidaknya, isu politis yang coba digulirkan kalangan di luar kepolisian sedikit tereliminasi. Karena biasanya, penguasaan terhadap suatu "kasus" membuat iri orang lain. wallahu alam bishowab.

Petualangan Dinas Para Kurcaci

Arpan Rachman
Selasa, 21 September 2010 - 14:42 wib

“Para kurcaci diinjak mati, para kurcaca nyanyi tralala…”
- Iwan Fals


Ada kisah menarik yang diceritakan seorang teman. Tapi ini bukan cerita tentang perjalanan dinas berlabel studi banding yang dikemasi para wakil rakyat di DPR sana.

Tersebutlah pada tempo doeloe, seorang saudagar pelit kaya-raya tapi sangat penakut. Dia mempunyai kapal dagang yang besar. Kapalnya ini terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni. Di pulau itu hidup binatang buas, tumbuh-tumbuhan beracun, dan air asin yang tak mungkin diminum. Saudagar penakut itu menderita lalu akhirnya mati.

Di kemudian hari, seorang bajak laut terdampar pula ke pulau yang sama. Dia menemukan sesosok mayat dan menguburkannya. Di atas nisan, Sang Perompak menulis kata, “Petualangan hanya menarik untuk diceritakan.”

Dan bajak laut itu pun tertawa kesenangan. Dia mendapat kapal dagang tak bertuan berisi harta berlimpah ruah.

Berangkat dari semangat “ingin coba-coba”, orang-orang modern – termasuk anggota DPR – kemudian datang memasuki dunia petualangan. Ada satu keyakinan bahwa sebaik-baiknya kehidupan bagi mereka yang banyak melanglang ke tanah asing dan tempat tanpa jejak manusia adalah keyakinan untuk mempertahankan diri (juga jabatannya) secara sejati.

Tiap saat, bagi seorang petualang, hidup adalah berjuang mempertahankan diri dari ancaman hewan buas, membasmi tumbuh-tumbuhan beracun (walaupun sebagian ada juga yang menghisapnya), dan menyuling air agar dapat diminum. Setiap petualangan adalah “go, move, fight, and win”: hingga kelak menemukan rahasia membentuk pribadi terbaik berdasarkan daya kreatif dan cinta pada kehidupan.

Hidup dan petualang seperti satu sisi matauang dengan ketakutan akan kematian berada di sisi lain. Sampai menjumpai alam bebas dan kesemestaan, maka tak kisah yang boleh diceritakan lagi.

Tapi ada kisah lain tentang petualangan dinas satu rombongan wakil rakyat ke Mesir untuk studi banding tentang kasino. Sepulang dari kota kuno Luxor, mereka bawa oleh-oleh buat sanak-keluarga. Tak ada yang mau belajar di sana. Sedangkan naskah akademik yang kemudian jadi materi awal rancangan peraturan daerah untuk melegalkan perjudian di daerahnya, ternyata hanya membandingkan sebuah kasino yang telah dibangun seorang tauke dari Singapura di Batam.

Petualangan dinas (mungkin juga bagi para kurcaci sekalipun), apa boleh buat, rasanya menyenangkan sekali. Oh la la…

Asyiknya Pelesiran Dibiayai Masyarakat

Kemas Irawan Nurrachman
Selasa, 21 September 2010 - 15:53 wib

TIDAK ada orang yang tidak mau jalan-jalan keluar negeri gratis? Iya jalan-jalan ke Negara lain kini menjadi kebiasaan di jajaran elit politik di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, dalam sekali jalan seorang elit bisa menghabiskan uang rakyat senilai Rp90 juta.

Iya sejumlah elit seperti eksekutif dan legislatif beramai-ramai plesiran dengan dalih untuk memperkaya ilmu. Berdasarkan data dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) dana pleserina tertinggi di tempati Presiden yakni Rp179.034.756.000.

Posisi kedua ditempati Dewan Perwakilan Rakyat yaitu Rp170.351.584.000, dan posisi ketiga yakni Kementrian Kesehatan Rp170.351.584.000. Namun dalam kesempatan terpisah, dua lembaga ini membantah mengeluarkan dana tersebut. Hanya Kementrian Kesehatan yang mengakui penggunaan dana tersebut.

Melalui Kepala Pusat Komunikasi Publik Tritarayati, sebanyak 80 persen penggunaan dana tersebut digunakan untuk petugas haji. Meski menuai kritik, namun sikap gentle Kemenkes patut dipuji.

Setelah membatah habis-habisan, DPR akhirnya mengakui adanya alokasi dana plesiran tersebut. Wakil Ketua DPR Pramono Anung memperjelas, dana perjalanan dinas tersebut bukan sekira Rp170 miliar melainkan Rp107 miliar.

Dalam beberapa kesempatan, sejumlah anggota DPR berdalih penggunaan dana tersebut akan berdampak positif kepada masyarakat. Salah satunya yakni sebagai studi banding pembuatan undang-undang.

Namun dapat dilihat, pembuatan Undang-Undang dalam periode DPR kali ini justru keok. Ini terlihat dari kerja awal legislasi DPR yang terlihat lamban. Selama tujuh bulan bekerja, DPR baru menyelesaikan tujuh UU.

Itu pun hanya satu yang masuk Prolegnas prioritas 2010. Padahal, tujuh puluh RUU masuk Prolegnas 2010, yakni 36 usulan DPR dan 34 usulan pemerintah. Bahkan hingga usai periode, DPR diperkirakan hanya menyelesaikan 60 persen atau 40 Undang-undang dari 70 Undang-Undang yang dijadwalkan akan rampung.

Kinerja DPR periode ini pun menjadi salah satu alasan kenapa plesiran keluar negeri sangat tidak diperlukan. Salah satu kinierja yang disorot adalah minimnya tingkat absensi wakil rakyat ini.

Dalam sejumlah rapat paripurna, kehadiran para legislator ini terbilang sangat minim. Itu baru rapat paripurna, bagaimana dengan rapat-rapat lainnya? Tanya teman saya beberapa waktu lalu.

Bahkan dalam salah satu rapat, pernah dibatalkan karena tidak hadirnya anggota dewan. Contohnya rapat Bamus dan rapat pembahasan Century. Jika kualitas wakil rakyat seperti ini, maka lagi-lagi tidak ada lagi tempat rakyat bisa mengadukan nasib.

Mungkin yang ada dipikiran wakil rakyat kita hanya bagaimana mengembalikan dana yang sudah dikeluarkan saat kampanye? Kelakar teman saya sembari menyeruput kopi hitam.

Alangkah Seramnya Negeri Ini

TB Ardi Januar
Jum'at, 1 Oktober 2010 - 15:51 wib
MENGERIKAN. Itulah kata yang kerap keluar dari mulut kita dalam menyikapi sederet peristiwa yang terjadi di Indonesia belakangan ini. Betapa tidak, hampir semua media massa memuat kabar soal konflik antarsuku, konflik antarkelompok, pembunuhan, terorisme, dan lain sebagainya.

Diawali dari Pulau Sumatera. Aksi perampokan bank dan ATM, serta penyerangan kantor polisi menjadi sorotan publik. Aparat yang seharusnya melindungi masyarakat justru harus sibuk melindungi diri sendiri karena terus mendapatkan serangan dari pihak yang diduga teroris.

Sebanyak tiga personel tewas dalam penyerangan di Mapolsek Hamparan Perak. Banyak kalangan menilai, ini adalah aksi balas dendam dari teroris kepada polisi yang kerap menangkapi rekan seperjuangannya. Aksi ini pun terus meluas hingga ke Jakarta.

Tak lama berselang, giliran konflik antarsuku yang meledak di Tarakan, Kalimantan Timur. Hanya karena salah paham, dua etnis penduduk asli dan pendatang harus saling serang dan menewaskan sekira lima orang. Kekhawatiran pun muncul, karena insiden di Tarakan bisa seperti tragedi di Sampit dan Sambas beberapa waktu silam.

Beruntung, upaya perdamaian cepat dilakukan. Pemerintah, aparat keamanan dan tokoh masyarakat langsung duduk satu meja dan sepakat untuk mengakhiri konflik. Namun bagaimana pun, perdamaian antarsuku sedikit tercoreng akibat peristiwa ini.

Yang terbaru, bentrokan berdarah juga terjadi di Jakarta. Dua kelompok terlibat saling serang, saling lempar, saling bacok, dan saling tembak di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bak film action, letusan senjata terus terdengar selama tawuran berlangsung. Tiga tewas dalam kejadian ini. Bahkan, Kapolres Jakarta Selatan menjadi salah satu korban luka tembak di bagian kaki.

Sederet peristiwa tadi sontak saja membuat kita mengusap dada. Ada apakah dengan negeri ini? Mengapa masyarakat kita mudah terpancing emosi?

Apapun penyebabnya, yang pasti saat ini masyarakat kita mengalami frustasi tingkat tinggi. Upaya diskusi dan berdialog seakan dikesampingkan dan justru memilih langkah sendiri dengan menjunjung hukum jalanan. Sungguh hal ini bukanlah budaya dari Indonesia.

Sederet kejadian ini pula harus dijadikan PR oleh pemerintah dan aparat keamanan baik TNI ataupun Polri. Sadar atau tidak, kemiskinan, kesenjangan sosial, dan lemahnya penegakkan hukum menjadi salah satu faktor pemicu amarah massa.

Karena itu, pemerintah harus segera mencari solusi agar hal-hal serupa tidak terjadi. Dan jangan lupa, ada segelintir pihak yang “tepuk tangan” menyaksikan potret suram ini. Pemerintah harus serius menyikapi persoalan bangsa termasuk soal beratnya beban hidup dan masih lemahnya penegakkan hukum.

Selain itu, masyarakat juga harus lebih bisa mengontrol diri dalam menyikapi persoalan. Kendati tak mudah, kita semua harus belajar memenej emosi agar negara yang aman, damai, dan tenteram dapat terwujud sesuai dengan yang dicita-citakan sewaktu Indonesia merdeka.

Damailah Indonesiaku, NKRI Harga Mati, dan Pancasila Abadi…

Hukum Hanya "Galak" Pada Rakyat Kecil

Dadan Muhammad Ramdan
Selasa, 12 Oktober 2010 - 15:13 wib
CATATAN kisah pilu anak bangsa yang tertindas ketidakadilan hukum semakin panjang. Kali ini menimpa Rasminah binti Rawan (60). Nenek yang hanya pembantu rumah tangga itu diseret ke meja hijau lantaran dituduh mencuri enam piring, setengah kilo daging sapi, dan pakaian bekas milik majikannya. Siti Aisyah Margarose Soekarno Putri, sang majikan mengadukannya ke polisi.

Sebelum menjalani tiga kali persidangan di Pengadilan Negeri Tangerang tanpa didampingi penasihat hukum, Rasminah sempat mendekam dua bulan di balik jeruji Lapas Wanita Tangerang dan dua bulan tiga hari di tahanan Polsek Metro Ciputat.

Nasib nenek warga Kampung Sawah Lama, Ciputat, Kota Tangerang Selatan itu, kini berada di balik nurani seorang hakim yang bakal memvonisnya. Rasminah dijerat Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Rasminah pun terancam dibui lima tahun.

Juga masih berbekas dalam ingatan kita, gara-gara himpitan ekonomi warga lemah berurusan dengan polisi. Empat terdakwa kasus pengambilan sisa buah kapuk di Perkebunan Sigayung, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, dihukum 24 hari penjara dipotong masa tahanan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Batang.

Ketimpangan hukum pun dirasakan Nenek Minah. Warga Banyumas ini divonis 1,5 bulan kurungan dengan masa percobaan 3 bulan akibat mencuri tiga buah kakao seharga Rp2.100. Adapun kisah Basar Suyanto dan Kholil, warga Kediri, Jawa Timur, Basar Suyanto dan Kholil, keduanya harus berurusan dengan polisi karena kedapatan mencuri sebuah semangka.

Sempat pula merasakan pengapnya tahanan, sebelum akhirnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Kediri. Bahkan, keluarganya mengaku sempat ditipu oknum polisi agar membayar Rp1 juta supaya kasusnya dihentikan.

Sementara kasus-kasus kakap yang melibatkan petinggi negara tak jelas juntrungannya. Buktinya, megaskandal BLBI atau bailout Bank Century senilai Rp6,7 triliun. Hukum begitu keras terhadap warga lemah. Berbeda terhadap koruptor yang beberapa kali melakukan tindakan kejahatan selama menjabat posisi penting. Mereka dapat leluasa mengatur keinginannya dan bermain mata dengan aparat penegak hukum untuk memperingan sanksi.

Distorsi ini jelas menjadi sebuah ironi karena Indonesia menganut negara hukum. Negara yang menyatakan sebagai rezim taat pada hukum. Sayang, dalam prakteknya banyak terjadi ketimpangan pelaksanaan hukum yang menyolok mata tanpa ada koreksi.

Apa yang menimpa si pencuri piring, pencuri kapuk atau pencuri kakao menjadi bukti jika hukum telah disalahgunakan menjadi sekadar alat. Bukan lagi menjadi fondasi mendirikan norma dan sistem hukum dalam tatanan negara. Hukum telah dibajak dan senjata dalam barter kepentingan ekonomi, politik, dan kekuasaan. Jadi sampai kapan hukum ini hanya "galak" terhadap rakyat kecil!

Hitler Mati di Indonesia?


Hitler Mati di Indonesia?

Kamis, 29 Juli 2010 - 16:34 wib
Judul Buku: Hitler Mati di Indonesia "Rahasia yang terkuak"
Penulis: Ir KGPH Soeryo Goeritno, Msc
Penerbit:Titik Media Publisher 2010
Halaman: 119

Kontroversi kematian Hitler memang menarik untuk diulas. Atas dasar itulah kira-kira buku ini dicetak untuk khalayak.

Bab Satu, Pendahuluan: Buku ini ditulis untuk mengungkap misteri kematian Hitler yang sebenarnya, itulah isi dari bab pendahuluan. Buku ini memang bukan merupakan buku sejarah, tetapi sebuah buku yang mengungkapkan sisi lain dari sejarah kelam yang dialami oleh bangsa Eropa, khususnya bangsa Jerman pada masa Perang Dunia ke 11 yang penuh dengan kekejaman yang pernah terjadi pada umat manusia.

Dari sekian banyak informasi yang ada tentang kematian Hitler, tidak ada yang dapat menyebutkan secara pasti apa penyebab kematian sang diktator Nazi ini. Versi yang paling populer menyebutkan bahwa Hitler tewas bunuh diri dengan cara menembak dirinya sendiri dan minum racun sianida pada 30 April 1945, saat Jerman diduduki oleh Uni Soviet. Meski sejumlah ahli sejarah ragu Hitler menembak dirinya, dan menduga hal itu hanyalah propaganda Nazi untuk menjadikan Hitler sebagai pahlawan. Namun, lubang pada potongan tengkorak itu tampak menguatkan argumen tersebut ketika tengkorak itu dipamerkan di Moskow tahun 2000. Bagaimana dan kapan Hitler meninggal sekarang ini masih diselimuti misteri.

Bab Dua, Misteri Kematian Hitler: Pada bab ini dapat dijumpai penjelasan tentang penyebab dan kapan Hitler mati dari beberapa versi. Ada kematian versi Jerman, versi Rusia, dan versi para peneliti atau ilmuwan.

Dari sekian banyak informasi yang ada tentang kematian Hitler, tidak ada yang dapat menyebutkan secara pasti apa penyebab kematian sang diktator Nazi ini. Versi yang paling populer menyebutkan bahwa Hitler bunuh diri dengan cara menembak dirinya sendiri dan minum racun sianida pada 30 April 1945, saat Jerman diduduki oleh Uni Soviet. Itu menurut versi Jerman, seperti yang diceritakan oleh Flegel, salah satu perawat Hitler dan petinggi Nazi lainnya saat di dalam bunker.

Dan menurut versi Rusia, yang dinyatakan oleh seorang pejabat tinggi dinas rahasia Rusia, KGB, yang mengklaim, bahwa Adolf Hitler mengakhiri hidupnya tidak dengan menembak dirinya sendiri, tetapi dengan meminum racun sianida. Seperti yang dinyatakan oleh Letnan Jenderal Vasily Khristoforov, staf arsip untuk dinas keamanan FSB Rusia, “Paramedia militer Uni Soviet kala itu telah memastikan bahwa Hitler dan Eva Braun tewas setelah minim racun sianida pada 30 April 1945.”

Dan versi kematian yang terakhir adalah menurut pendapat umum, dalam hal ini diwakili oleh para ilmuwan. Sudah lama sebenarnya para ilmuwan dan ahli sejarah menyatakan bahwa potongan tengkorak yang telah diambil dari luar bunker Hitler oleh tentara Rusia dan selama ini disimpan intelijen Soviet itu akan menjadi bukti yang meyakinkan bahwa menembak dirinya hingga tewas setelah minum pil sianida pada 30 April 1945. Akhirnya dilakukan analisis DNA terhadap potongan tengkorak itu oleh peneliti Amerika, dan mereka menyatakan, “kami tahu tengkorak itu berhubungan dengan seorang perempuan berusia antara 20 dan 40 tahun,” kata ahli arkelogi Nick Bellantoni dari Universitas Connecticut, AS, dikutip dari Dailymail. “Tulang itu kelihatan sangat tipis, tulang tengkorak laki-laki cenderung lebih kuat. Dan persambungan di mana lempengan tengkorak itu menyatu tampak berhubungan dengan seseorang yang berusia kurang dari 40 tahun. Hitler pada April 1945 berusia 56 tahun.

Dengan adanya hasil tes DNA tersebut, berarti sejarah kematian Hitler menjadi sebuah misteri kembali, dan para ahli teori konspirasi harus memikirkan kembali kemungkinan-kemungkinan lain tentang kematian Hitler, seperti mungkin saja Hitler tidak mati dalam bunker.

Bab Tiga, Sekilas Tentang Adolf Hitler: Mengenai masa kecil, masa remaja, sampai dengan ketika menjadi seorang diktator, dapat dilihat pada bab ini. Hitler kecil adalah seorang anak yang tertolak, ayahnya sangat membencinya dan mengenggap perilakunya yang “antisosial” sebagai sebuah kutukan. Ayahnya seorang yang keras dalam mendidik anak, sedang ibunya (Klara) sangat baik kepadanya. Masa kecil yang diliputi dengan kebencian dari ayahnya inilah yang memberikan andil besar dalam pembentukan mental dan kejiwaan Hitler saat dewasa.

Ketika hidupnya sulit, Perang Dunia 1 pun pecah. Tanpa ragu-ragu Hitler mendaftar menjadi tentara dengan pangkat Kopral, bertugas di medan perang di barisan paling depan. Kecewa dengan kekalahan Jerman di Perang Dunia 1, Hitler pun masuk menjadi Anggota Partai Buruh yang kemudian menjadi NSDAP (National Socialistische Deutsche Arbeiter Partei).

Tahun 1920, Hitler menjadi Kepala Bagian Propaganda, disinilah terlihat bakat Hitler di bidang pidato dan agitasi. Satu tahun kemudian, 1921, akhirnya Hitler menjadi ketua partai. Akhirnya pada tahun 1962 Hitler mendapatkan wewenang mutlak dari partainya. Dan Hitler adalah seorang orator ulung,”singa podium”, ahli pidato yang bisa menghipnotis massa pendengarnya. Hitler adalah politikus handal dan berhasil membangun pencitraan yang sukses melalui propaganda. Ia berhasil membangun opini menjadi sebuah kekuatan dahsyat yang sukses melalui propaganda. Ia berhasil membangun opini menjadi sebuah kekuatan dahsyat yang ditakuti. Ia juga berhasil membangun opini sebagai fuhrer atau pemimpin yang dapat dipercaya rakyatnya, membawa bangsanya ke puncak kejayaan.

Bab Empat, Bukti-Bukti Hitler di Indonesia: Di dalam bab empat ini, Anda bisa jumpai penjelasan mengenai, bagaimana caranya Hitler sampai ke Indonesia, bisa menjadi WNI, dan bekerja menjadi seorang dokter di Rumah Sakit Umum Sumbawa Besar, dan sampai dengan pertemuan Hitler dengan seorang wanita sunda yang akhirnya menjadi istrinya. Juga tentang kesaksian dr Sosro Husodo saat bertemu dengan Hitler ketika di Sumbawa Besar. Dan semuanya dilengkapi dengan dokumen-dokumen pendukung serta foto-foto yang akurat.

Hitler yang terkenal sangat bengis di abad ke 20, ternyata bersembunyi di Indonesia sejak tahun 1954 sampai dengan tahun 1970, yang kemudian tercium oleh Sekutu (AS, Uni Sovyet, Inggris dan Prancis) yang selanjutnya diusut oleh Pemerintah Israel yang terus-menerus mengejar para tokoh Nazi.

Pada tahun 1954 Adolf Hitler masuk ke Indonesia dengan menggunakan nama palsu, dr Poch. Pada awalnya dr Poch tinggal di Dompu lalu pindah ke Bima, selanjutnya pindah ke Kabupaten Sumbawa Besar, kemudian bekerja menjadi dokter di Rumah Sakit Umum Kabupaten Sumbawa Besar. Seluruh penduduk pulau Sumbawa Besar. Seluruh penduduk pulau Sumbawa kenal dengan dokter ini, yang di panggil “dokter Jerman”.

Salah satu peninggalan Adolf Hitler meninggal pada tanggal 15 Januari 1970 di Surabaya, yaitu buku catatan kecil berwarna cokelat ukuran 9x16 cm dengan tebal 44 cm. Buku ini mempunyai arti yang sangat besar, karena merupakan bukti otentik yang menyatakan bahwa “dr Poch” adalah dewa-Nazi Adolf Hitler.

Kemudian Hitler bertemu dengan seorang gadis bernama Sulaesih yang sedang menggembara ke Sumbawa Besar, yang akhirnya dilamar oleh Hitler. Tidak lama setelah dr Poch melamar Sulaesih, beliau memeluk agama Islam pada tahun 1964, yang disaksikan oleh Ketua Kantor Agama di Sumbawa, (tapi sayang Sulaesih lupa namanya) dan mengganti namanya menjadi Abdul Kohar. Pada tahun 1965 Hitler pun menikahinya.

Bab Lima, Hitler Mati di Indonesia: Bab ini berisi tentang pengakuan Hitler kepada istrinya yang berasal dari Indonesia, Sulaesih, bahwa dia adalah memang Hitler yang sebenarnya, Der Fuhrer. Apa saja kegiatan Hitler sebelum dia meninggal. Di dalam bab ini juga terdapat pernyataan Stanlin, bahwa yang tewas di dalam bunker di Jerman bukanlah Hitler asli. Dan dibagian akhir ini menceritakan bagaimana akhirnya sang diktator itu meninggal di Indonesia.

Selama ini kematian Hitler memang sangat misterius, karena tidak ada saksi yang dapat menunjukkan dimana mayat Hitler ataupun mayat Eva Braun. Di Konferensi Postdam tahun 1945, Stanlin bahwa mayat Hitler dan Eva Braun tidak ditemukan. Stanlin menduga, dewa Nazi ini lolos dan melarikan diri ke Spanyol atau Amerika Latin. Dan tak berapa lama ada kabar yang mengatakan Hitler kabur menggunakan kapal selam ke sebuah pulau. Tapi tidak ada yang tahu pulau apa dan dimana. Dunia internasional sama sekali tidak menyadarinya bahwa seorang pemimpin Nazi yangn sangat kejam itu bersembunyi dengan aman di Sumbawa Besar, sampai meninggal di Surabaya dan dimakamkan di pemakaman umum muslim di Ngagel.

Bab Enam, Penutup: Kematian Diktator Jerman, Adolf Hitler yang diyakini tewas bunuh diri di sebuah bunker, pada tanggal 30 April 1945 di Berlin, tetap masih dipertanyakan dan menjadi misteri. Siapa yang menyaksikan peristiwa di bunker saat Hitler bunuh diri? Tidak ada, sumber cerita tersebut hanya dari mulut ke mulut. Dan pada saat itu, walaupun tidak ada saksi dan bukti yang jelas, pihak sekutu tetap mengumumkan secara resmi bahwa Hitler dan istri, Eva Braun telah meninggal. Bukan tidak mungkin Hitler mati di Indonesia. Karena Indonesia dianggap tempat yang aman, bagi Hitler. Silahkan siapa pun untuk menemukan jawaban yang sesungguhnya.

Ir KGPH Soeryo Goeritno, Msc
Penulis Buku

Mendorong Entrepreneurship di Indonesia

Pada Juni 2009, Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama mengumumkan “New Beginning and Global Engagement” yaitu inisiatif baru Pemerintah AS membangun hubungan yang lebih baik dengan negara-negara berkembang, termasuk dengan negara yang penduduknya mayoritas Islam (Moslem Majority Countries/ MMC).

Inisiatif tersebut menggunakan entrepreneurship sebagai topik untuk membangun kesalingpengertian dan kerja sama yang lebih baik. Dasar hubungan baru ini adalah mutual interest, mutual respect, dan mutual responsibility. Global Entrepreneurship Program atau GEP sengaja dirancang Pemerintah AS untuk mencapai tujuan tersebut.

Saat ini terdapat 12 negara yang menjadi fokus GEP, yaitu Aljazair, Mesir, Yordania, Indonesia, Meksiko, Pakistan, Palestina, Peru, Filipina, Rwanda, Afrika Selatan, dan Turki. Dari 12 negara ini Indonesia dan Mesir terpilih sebagai pilot countries.

Kenapa entrepreneurship? Tampaknya Pemerintah AS sadar bahwa entrepreneurship adalah salah satu kunci utama keberhasilan ekonomi negara. Sementara itu, di pihak lain banyak negara berkembang membutuhkan entrepreneurship untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan.

Jadi, isu entrepreneurship menjadi satu titik temu untuk saling bertemu dan berdiskusi. Melalui isu ini AS ingin membangun hubungan yang lebih baik dengan 12 negara tersebut.

Tindak lanjut nyata Pemerintah AS mengadakan Presidential Summit on Entrepreneurship pada 25-26 April 2010 di Washington DC. Untuk menggulirkan program ini Ambassador Elizabeth Frawley Bagley, telah ditetapkan sebagai special representative for global partnerships.

Dr Ir Ciputra yang secara konsisten mempromosikan pentingnya entrepreneurship di Indonesia, sejak empat tahun lalu mendefinisikan seorang entrepreneur mampu mengubah kotoran dan rongsokan jadi emas.

Ada tiga makna penting seorang entrepreneur masa kini atau entrepreneur abad 21. Pertama, mampu melakukan perubahan yang kreatif dan dramatis. Kedua, perubahan kreatif itu memiliki nilai tinggi di pasar seperi emas.

Ketiga, seberapa pun sumber daya yang dimiliki bila memiliki kecakapan entrepreneurship, maka akan sanggup melipatgandakannya. Jadi, entrepreneur abad 21 bukan sekadar “berdagang”, namun mereka harus mampu berinovasi. Entrepreneurship menjadi salah satu kebutuhan utama bangsa Indonesia abad 21.

Ada tiga hal penting mengapa Indonesia memerlukan entreprenurship. Pertama, pertumbuhan jumlah penganggur terdidik naik secara drastis. Pada 2004 hanya sekitar 500 ribu lulusan perguruan tinggi yang menganggur, pada 2007 naik jadi sekira 743 ribu, pada 2008 naik lagi jadi sekira 1,1 juta orang, dan pada 2010 diperkirakan sudah mencapai dua juta orang.

Saat ini Indonesia kelebihan pencari kerja dan kekurangan entrepreneur, yaitu para pencipta lapangan kerja. Kalau ini didiamkan, maka tidak akan lama lagi jumlah penganggur terdidik ini akan mencapai 4,5 juta orang atau sama besar jumlahnya dengan jumlah seluruh mahasiswa yang ada di bangku kuliah pada saat ini.

Alasan kedua, jumlah TKI Indonesia dari tahun ke tahun naik terus, dan saat ini sudah sekira enam juta warga Indonesia yang kebanyakan melakukan pekerjaan yang informal. Beragam masalah sosial mulai dari kasus kekerasan, pelecehan seksual, pemerkosaan hingga pembunuhan yang menimpa TKI sudah kerap kita dengar.

Namun, kenapa mereka tetap berangkat meninggalkan keluarga dalam jangka waktu lama dan menghadapi beragam risiko? Bukankah ini menunjukan bahwa lapangan kerja memang langka di Indonesia. Apakah kita rela jumlah TKI merangkak naik terus jumlahnya dan kemudian kita dikenal sebagai pemasok buruh kasar dunia yang terbesar?

Alasan ketiga adalah masih begitu banyak potensi alam dan budaya Indonesia yang masih “tertidur” tidak tersentuh oleh tangan para entrepreneur. Dan sebagai contoh, Indonesia merupakan salah satu produsen utama dunia untuk karet dan teh, namun merek ban mobil atau motor paling terkemuka di dunia bukan dari Indonesia.

Hal yang sama terjadi dengan teh. Padahal kalau transaksi terjadi makin dekat dengan pemakai akhir semakin besar juga keuntungan finansial yang diperoleh.

Jadi, dengan hanya menjual bahan mentah Indonesia memperoleh nilai tambah terkecil. Ini juga menunjukkan bahwa jumlah entrepreneur Indonesia terlalu sedikit dan kurang tersebar merata ke seluruh tanah air padahal masih begitu banyak contoh lain kekayaan alam dan budaya Indonesia yang sesungguhnya dapat dientrepreneur- kan menjadi kesejahteraan bagi rakyat Indonesia secara berkelanjutan.

Manfaat entrepreneur yang tersebar merata dari desa ke kota di seluruh Indonesia, maka kita tidak perlu risau lagi terhadap kesenjangan ekonomi antardaerah.

AS sebagai sebuah negara adi daya dalam hal entrepreneurship telah membuka diri untuk melakukan kerja sama dengan Indonesia. Ini adalah peluang yang tidak boleh dilewatkan begitu saja.AS telah memiliki sejarah panjang pendidikan entrepreneurship dan telah memiliki begitu banyak pengalaman.

AS telah menyelenggarakan konferensi guru entrepreneurship dari pendidikan dasar hingga menengah (entrepreneurship education forum) yang telah dirintis sejak 30 tahun lalu.

Tidak heran bila pada 1997 berdasarkan survei Gallup, tujuh dari 10 murid SMA di AS ingin memulai bisnis sendiri. Lembaga pendidikan tinggi yang mengajarkan entrepreneurship juga sudah menyebar merata.

Menurut majalah Fortune 29 Maret 2010 lebih dari 2/3 atau sekira 2.000 akademi dan universitas di AS telah mengajarkan entrepreneurship. Bandingkan dengan tahun 1970-an yang hanya sekira 200 perguruan tinggi saja yang menyelenggarakan pembelajaran entrepreneurship. Urgensi entrepreneurship sudah dirasakan oleh Pemerintah Indonesia.

Pada 29 Oktober 2009 Presiden SBY di depan 1.500 stakeholders Indonesia dalam acara Rembuk Nasional (National Summit) menyatakan bahwa ada tiga strategi utama yang harus dilakukan Indonesia, yaitu pemberdayaan, kewirausahaan, dan inovasi teknologi.

Sebelumnya atau pada 28 Oktober 2009 Presiden SBY telah menerima surat dari Dr Ir Ciputra dan Jakob Oetama yang menjelaskan betapa pentingnya entrepreneurship bagi masa depan Indonesia.

Sejak pernyataan itu maka entrepreneurship menjadi program 100 hari berbagai departemen pemerintah, termasuk Kementerian Pendidikan Nasional. Dengan terpilihnya Indonesia sebagai pilot country dari program GEP yang diluncurkan oleh Pemerintah AS harus dimanfaatkan untuk mendorong entrepreneurship di Tanah Air.(*)

Lika-Liku Naturalisasi di Laga Kontra Uruguay

Di tengah tumpukan kegagalan PSSI menghadirkan prestasi, yang kerap membuat rasa frustrasi muncul, pencinta sepakbola Tanah Air mendapat hiburan langka dengan kehadiran Timnas Uruguay dan kabar naturalisasi.

Sejenak, sorotan kepada buruknya profesionalitas PSSI dan kabar tindak lanjut hasil KSN di Malang, jawa Timur, beberapa waktu lalu, menguap. Publik tengah disuguhi euforia kedatangan pemain-pemain dunia seperti Diego Forlan, Luis Suarez, Fernando Muslera, Edinson Cavani dan Martin Caceres, serta lika-liku pencarian bakat pemain keturunan di negeri Kincir Angin.

Dua isu ini memang membawa sensasi tersendiri. Sekian lama, tidak ada timnas elite dunia mengunjungi Indonesia. Terakhir di level klub Indonesia menjamu Bayern Munich, yang datang dua tahun lalu. Kehadiran timnas Uruguay, yang pamornya melejit usai Piala Dunia Juli lalu, bisa menjadi pengobat kekecewaan gagalnya publik melihat Wayne Rooney dkk, akibat bom JW Marriot 2009 lalu.

Meski Piala Dunia di Afrika Selatan sudah dua bulan lebih berlalu, namun gegap gempitanya boleh dibilang belum sepenuhnya sirna. Kita masih terngiang-ngiang peragaan sepakbola indah Spanyol, dan aksi gemilang sejumlah pemain.Termasuk Diego Forlan, yang menyabet gelar pemain terbaik kompetisi akbar empat tahunan itu.

Seperti di setiap kesempatan menghadapi tim besar, banyak kalangan berharap timnas bisa menimba pelajaran sebanyak-banyaknya dari para pemain-pemain bintang Uruguay yang sebagian besar merumput di liga-liga besar Eropa.

Pertandingan persahabatan melawan La Celseste tentu kesempatan yang teramat langka bagi Atep dan kawan-kawan. Boaz Solossa yang sempat mangkir dari panggilan timnas pun, tiba-tiba tertarik untuk mengikuti training kamp menjelang laga persahabatan dengan Uruguay.

Selama ini, timnas jarang melakukan laga uji coba. Tidak usah berbicara uji coba dengan tim-tim sekelas Uruguay, dengan sesama negara Asia pun sangat minim. PSSI menganggap itu terjadi lantaran keterbatasan dana. Ujung-ujungnya menjadi alasan jebloknya prestasi timnas.

Upaya PSSI mendatangkan pasukan Oscar Tabarez ke Gelora Bung Karno, menjadi kabar baik. Selain sebagai sebuah hiburan bagi pencinta sepakbola, even ini bisa dimaknai sebagai jawaban PSSI, terhadap keresahan pemain-pemain timnas yang membutuhkan perhatian dan pembinaan lebih serius.

Pertandingan ini akan menambah jam terbang yang sangat berharga bagi pemain timnas. Terlalu berharap prestasi bisa langsung datang setelah laga uji coba ini memang terlalu berlebihan, tapi setidaknya dari uji coba itu para pemain bisa memetik pelajaran berharga.

Tapi misi ini bisa jadi kurang maksimal jika PSSI justru memberikan kesempatan kepada pemain calon naturalisasi ikut berlaga, yang kita tahu setidaknya ada tiga pemain keturunan yang hampir dipastikan mendadak Merah-Putih di laga itu.

Bisa dipahami, bergabungnya para pemain keturunan itu, merupakan jalan pintas PSSI mengangkat prestasi timnas. Dan itu sah-sah saja. Toh tim sekelas Jerman sekali pun tidak malu-malu memakai jasa pemain yang notabene tidak berdarah Jerman. Contoh lain pun masih banyak.

Namun yang jadi persoalan, belum ada jaminan para pemain keturunan ini pada akhirnya berpaspor Garuda. Dari segi peraturan, jalannya cukup berliku, ditambah rata-rata mereka enggan menanggalkan paspor Belanda, karena sejumlah kekhawatiran, seperti hilangnya hak social security.

PSSI pun hingga saat ini tidak cukup terbuka kepada publik mengenai cara yang akan ditempuh untuk menaturalisasi nyong-nyong Belanda ini. Melalui Undang-Undang Kewarganegaraan, naturalisasi sangat sulit dilakukan dalam waktu dekat. Lalu, jika ingin menempuh jalur khusus melalui keputusan Presiden dan persetujuan DPR seperti di Undang-Undang No 12 tahun 2006, Pasal 20, sejauh mana upaya itu ditempuh? Sebab bukan tidak mungkin DPR akan menolak rencana itu. Anggota Komisi X Dedi Gumilar alias Miing Bagito saja menganggap naturalisasi adalah penghinaan.

Profesionalitas dan keseriusan PSSI diuji di sini. Selama ini profesionalitas PSSI banyak dipertanyakan sehingga tidak heran jika ada yang mencurigai niat PSSI yang tiba-tiba giat mencari bakat ke luar negeri, dan mendatangkan tim-tim elite dunia, di saat mendapat sorotan tajam.

Kita berharap kedatangan Uruguay, dan skuad timnas yang menjanjikan dengan kehadiran pemain naturalisasi bukan cara PSSI mengalihkan isu untuk membuat harapan publik melambung dan menghindari diri dari cacian publik.

Sebab tidak fair rasanya jika naturalisasi gagal dilakukan karena terganjal kendala-kendala yang memang sudah diketahui jauh-jauh hari, sementara mereka telah merebut kesempatan sejumlah pemain timnas merasakan nikmatnya merebut bola dari kaki Forlan atau menjajal ketangguhan kiper Fernado Muslera. Bagi kita mungkin sepele, tapi coba tanyakan itu kepada para pemain yang merasakan sulitnya berseragam Merah-Putih.

Demokrasi dan Pertumbuhan Ekonomi

Hubungan demokrasi dan pertumbuhan ekonomi menjadi tema kajian menarik yang menyita perhatian para sarjana dan kaum intelektual sejak lama. Tema ini sudah menjadi isu klasik dalam debat akademis di kalangan ilmuwan politik dan ahli ekonomi, yang melahirkan beragam pandangan dan kesimpulan (lihat John Helliwell 1992; Robert Barro 1996; Dani Rodrik 1997).

Karena itu, dapat dimaklumi bila publik demikian bersemangat menyambut proses demokratisasi di Indonesia setelah kejatuhan rezim otoritarian Orde Baru pada 1998, dengan harapan sistem politik demokrasi dapat memacu percepatan kemajuan ekonomi untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Pertanyaan yang lazim diajukan adalah: apakah demokrasi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi? Jika ada, bagaimana pola hubungan antara demokrasi dan pertumbuhan ekonomi?

Pengaruh Tak Langsung

Sebagian ahli meyakini, demokrasi dapat mendorong dan berpengaruh signifikan pada pertumbuhan ekonomi. Sebagian lagi menyatakan keduanya tak ada hubungan kausalitas, bahkan diskoneksi antara satu dengan yang lain.

Namun, ada juga yang berpendapat bahwa demokrasi sejatinya berkorelasi-sekalipun lemah-dengan pertumbuhan ekonomi. Ilmuwan lain mengatakan bahwa demokrasi berpengaruh secara tidak langsung atau bersifat indirect impact terhadap dinamika pertumbuhan ekonomi.

Sebab, ada sejumlah variabel determinan lain: modal sosial,modal manusia,dan kualitas pemerintahan yang ikut berkontribusi pada pertumbuhan. Robert Barro (1996) menyimpulkan: the established links between democracy and growth are a result of the connections between democracy and other determinants of growth such as human capital and social capital, as the relationship is mediated by the quality of government.

Penting dicatat, ketiga variabel determinan tersebut hanya dapat berpengaruh langsung bila ditopang oleh sistem politik demokrasi. Jelas, sistem politik demokrasi menjadi semacam prerequisite bagi penataan struktur pemerintahan agar dapat beroperasi dengan baik sehingga membuka ruang yang kondusif bagi aktivitas perekonomian.

Argumen pokok yang dibangun adalah, demokrasi sepanjang dapat meningkatkan kualitas dan kinerja pemerintahan akan berpengaruh terhadap total factor productivity (TFP) dan pertumbuhan GDP per kapita.

Klaim ini punya bukti empiris berdasarkan hasil studi di hampir semua kawasan: Asia, Afrika, Amerika Latin,Eropa,dan Amerika Utara. Studi ini membuat perbandingan di 65 negara yang mencakup negara maju dengan sistem politik demokrasi dan negara berkembang dengan sistem politik otoriter (lihat Rivera-Batiz, Democracy, Governance, and Economic Growth, 2000; Tavares & Wacziarg, How Democracy Affects Growth, 2000).

Survei ini menggunakan indeks penilaian berskala 0 (full autocracy) sampai 1 (full democracy) untuk mengukur kualitas pemerintahan yang dihubungkan dengan TFP dan pertumbuhan GDP per kapita. Variabelvariabel yang diteliti antara lain mencakup: (i) stabilitas politik, (ii) kesenjangan dan ketidakmerataan pendapatan, (iii) modal manusia, (iv) tingkat investasi,(v) keterbukaan perdagangan, (vi) log initial income, dan (vii) belanja publik/pengeluaran pemerintah.

Hasil survei dengan jelas menunjukkan, negara-negara industri maju dengan sistem demokrasi yang mapan memiliki indeks paling tinggi seperti Swiss (1,00),Amerika (0,97), dan Kanada (0,96).

Adapun negara sedang berkembang yang umumnya otoriter dengan kualitas pemerintahan rendah memiliki indeks rendah pula seperti Myanmar (0,184), Sudan (0,167), Somalia (0,160),dan Zaire (0,113).

Freedom House juga melakukan survei serupa dengan indikator kurang lebih sama dengan skala penilaian 0 sampai 7 dan mem-peroleh hasil yang sama pula. Negaranegara industri maju dengan sistem demokrasi mendapat indeks paling tinggi: Jerman, Prancis, dan Kanada masing-masing dengan skor 7,0.

Demikian pula negara sedang berkembang yang menganut sistem demokrasi mendapat skor tinggi seperti Kosta Rika (7,0), Barbados (7,0), Venezuela (6,3), dan Bostwana (5,9). Adapun negara sedang berkembang yang menerapkan sistem politik nondemokrasi seperti Afrika Tengah, Somalia, dan Mali berindeks rendah, masing-masing dengan skor 1,0.

Tata Kelola Pemerintahan

Hasil survei di atas sesungguhnya merupakan afirmasi atas argumen lama. Demokrasi yang mapan dapat menjamin peralihan kekuasaan lebih tertib, lancar, dan aman sehingga stabilitas politik dapat terjaga.

Stabilitas politik merupakan prasyarat dasar pelaksanaan agenda pembangunan. Di sini berlaku aksioma klasik: there is no development without political stability and there is no political stability without sustainable development. Bahkan sistem demokrasi dapat menjamin terwujudnya good governancetecermin pada berfungsi- efektifnya lembaga-lembaga politik: parlemen, pemerintah, institusi penegak hukum, dan media massa.

Untuk itu, harus ada jaminan aturan main dan proses penegakan hukum, kebebasan pers dalam melakukan kritik dan menjalankan fungsi advokasi publik dan kontrol sosial, serta kualitas pelayanan publik terkait dengan peluang berinvestasi.

Good governance merupakan prasyarat mutlak agar pemerintah dapat membuat kebijakan publik untuk memfasilitasi percepatan pertumbuhan, memperluas pasar, dan meningkatkan ekspansi ekonomi.

Karena itu, sistem demokrasi harus ditransformasikan ke tata kelola pemerintahan yang baik. Sistem politik demokrasi harus dapat melahirkan pemerintahan yang bersih, mencegah praktik korupsi di kalangan pejabat negara dan aparatus birokrasi, serta meningkatkan mutu pelayanan publik.

Semua itu hanya bisa terjadi bila ada kontrol publik yang ketat melalui pers, yang merefleksikan kebebasan dalam mengartikulasikan pendapat umum.

Pemerintahan yang bersih tanpa korupsi akan menciptakan iklim yang kondusif bagi aktivitas bisnis, investasi, perdagangan, dan pergerakan modal yang kemudian mengantarkan pada pertumbuhan ekonomi.

Jadi, pengaruh demokrasi pada pertumbuhan itu mensyaratkan kualitas pemerintahan yang menerapkan prinsip dasar good govenance: transparansi,partisipasi, akuntabilitas,dan penegakan hukum. Inilah yang disebut pengaruh bersyarat demokrasi terhadap pertumbuhan—terms and conditions of the relations between democracy and growth.

Pengalaman Indonesia

Pengalaman negara-negara Barat menunjukkan, sistem demokrasi modern menjadi basis sosial bagi ikhtiar untuk mencapai kemajuan ekonomi, yang membawa implikasi langsung pada peningkatan kesejahteraan sosial.

Kemajuan ekonomi berjalan paralel dengan kemapanan sistem demokrasi negara bersangkutan. Namun, pengalaman Indonesia dalam membangun sistem politik demokrasi justru melahirkan fenomena ganjil. Sistem demokrasi yang berhasil dibangun selama lebih dari satu dasawarsa ternyata belum membawa dampak signifikan pada kemajuan ekonomi.

Sistem politik Indonesia memang merujuk pada sistem demokrasi modern. Semua kelembagaan politik yang menjadi pilar utama demokrasi telah tersedia dan terbangun dengan baik, bahkan presiden dan anggota parlemen pun dipilih langsung oleh rakyat.

Namun, pemerintahan demokratis tak disokong oleh institusi publik-organis yang bersih (birokrasi, aparat kepolisian, institusi peradilan). Lembaga parlemen yang sangat vital dalam proses perumusan kebijakan publik justru menjadi salah satu episentrum praktik korupsi akut dan sistemik sehingga memberi andil pada sulitnya membangun tata kelola pemerintahan yang baik.

Parlemen dihuni politisi korup yang hanya berorientasi mengumpulkan modal untuk membiayai kegiatan politik dan memperkaya diri. Diyakini sepenuhnya, praktik korupsi berskala gigantis yang merajalela di lembaga-lembaga politik dan pemerintahan menjadi faktor negatif dan diskredit bagi ikhtiar akselerasi pertumbuhan ekonomi.

Sistem demokrasi di Indonesia tak menyumbang pada pertumbuhan ekonomi karena terhalang oleh praktik korupsi berjenjang dan berkelanjutan sehingga tak mampu menciptakan iklim kondusif bagi aktivitas bisnis, investasi,serta pertukaran dan lalu lintas modal domestik maupun asing.(*)

Jumat, 01 Oktober 2010

Liberalisme

Melengkapi artikel Liberalisme di Belanda dan Adat Istiadat, ada beberapa istilah yang perlu dikenal lebih jauh terutama Liberalisme. Liberalisme berkaitan dengan kata Libertas (bhs. latin) yang artinya kebebasan, dan Liberalisme mencakup banyak aliran yang berbeda artinya di bidang politik, ekonomi dan keagamaan, yang berpangkal tolak pada kebebasan orang-perorangan terhadap kekuasaan apapun (A. Heuken SJ: Ensiklopedi Gereja). Liberalisme dapat dimengerti sebagai (1) tradisi politik (2) filsafat politik dan (3) teori filsafat umum, mencakup teori nilai, konsepsi mengenai orang dan teori moral sama halnya dengan filsafat politik. ... Di Perancis, liberalisme lebih dekat dikaitkan dengan sekularisme dan demokrasi (Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2003).

Heuken lebih lanjut menyebut liberalisme dasarnya adalah pendangan Zaman-Pencerahan, bahwa manusia tidak hanya berhak mengusahakan masyarakat yang bebas dari kekuasaan negara, yang kurang mengindahkan hak-hak azasi manusia, melainkan juga membebaskan diri dari kuasa rohani yang tidak mendapat mandat dari umat. Kuasa dari atas ditolak.

Mirip dengan liberalisme, Libertinisme juga berkaitan dengan Libertas. Dalam Alkitab ada disebut orang libertini yang berarti orang Yahudi yang telah bebas dari penjara Romawi dan memiliki sinagoga sendiri di Yerusalem (Kis.6:9), tetapi dalam pengertian umum, libertin adalah orang yang membebaskan diri dari kekangan, terutama norma sosial dan agama, dan moral (Wikipedia).

libertinisme atau faham yang dianut orang libertin. Seorang tokohnya, Theophile de Viau diusir duakali dari kota Paris karena pandangannya yang atheistik dan hidup berfoya-foya, dalam sajak yang ditulisnya di The Satirical Parnassus ia tidak menghiraukan nilai moral dan seksual, dan dalam banyak sajaknya sama halnya dengan sesama libertin Marc Antoine de Gerard Saint Amant, mereka menentang ajaran agama dan konvensi moral masyarakat. Libertin menyiapkan jalan bagi abad berikutnya yang menularkan roh kritik yang dilandaskan pada logika (Encyclopedia Encarta, 2006).

Dari pengertian demikian, tepat seperti yang dikatakan oleh Verkuyl bahwa manusia berada di antara libertinisme dan farisiisme (lihat artikel Adat Istiadat). Disatu pihak ia ditarik kecenderungan keterbukaan dengan moralitas bebasnya, dipihak lain ia ditarik kecenderungan ketertutupan dengan moralitas kakunya.

Liberalisme, sekalipun bisa diartikan macam-macam dalam berbagai bidang yang berbeda, memiliki pengertian sendiri dalam teologi. Liberalisme teologi adalah salah satu pemikiran agama yang menekankan penyelidikan agama yang berlandaskan norma diluar otoritas tradisi gereja. Liberalisme adalah keinginan untuk dibebaskan dari paksaan kontrol dari luar dan secara konsekwen bersangkutan dengan motivasi dari dalam diri manusia.

Dalam Encyclopaedia Britannica, liberalisme dapat dibagi dalam tiga masa, yaitu: masa pertama dari abad-17 sampai pertengahan abad-18; masa kedua dari pertengahan abad-18 sampai akhir abad-19; dan masa ketiga dari pertengahan abad-19 sampai abad-20.

Masa Pertama, liberalisme teologi biasa dikaitkan dengan filsuf dan matematikawan Rene Descartes. Masa ini juga disebut sebagai masa Rasionalisme dan Pencerahan. Descartes menekankan cara berfikir yang berpengaruh sampai abad-19 dan meletakkan dasar perkiraan kesadaran modern, yaitu: (1) keyakinan akan pikiran manusia, (2) mengutamakan manusia sebagai pribadi, (3) imanensi Tuhan, dan (3) keyakinan bahwa sifat alami manusia bisa dan selalu diperbaiki.

Masa Kedua, liberalisme teologi dikenal sebagai masa Romantisme yang diawali dengan disadarinya keunikan individu dan konsekwensinya mengenai pentingnya pengalaman individu sebagai sumber khusus mengenai arti yang tidak terbatas, ini memberi nilai lebih pada kepribadian dan kreativitas individu melebihi semua nilai lain. Jean-Jacques Rousseau dan Immanuel Kant adalah arsitek dibelakang liberalisme romantis ini.

Dalam teologi, Friedrich Schliermacher, dapat disebut sebagai bapak teologi protestan modern. Schleiermacher mengerti agama sebagai perasaan yang intuisif kebergantungan kepada yang kekal, atau Tuhan, yang dipercayainya sebagai pengalaman universal dari kemanusiaan. Ini menekankan pengalaman beragama daripada dogma agama. Teolog liberal berusaha untuk mendamaikan agama dengan ilmu pengetahuan dan masyarakat modern, dan mereka mengacu pada tehnik kritik historis atas Alkitab dalam usaha untuk membedakan Yesus Sejarah dan ajarannya dari dari apa yang mereka anggap sebagai mitologi dan dihasilkan oleh dogma.

Bila semula liberalisme teologi masih memberi tempat pada yang supranatural, lama-kelamaan perkembangan liberalisme mengarah pada penekanan Yesus sebagai sekedar manusia biasa. Albrecht Ritchl menolak aspek supranatural dari hidup Yesus dan menafsirkan mujizat Yesus dalam kerangka ajaran idealisme Hegel, dan menjadikan etika sebagai jantung agama. Pengikut Ritchl Adolf von Harnack menyebut Yesus adalah tokoh manusia yang memiliki damai dan kerendahan hati yang dapat menguatkan dan membawa damai pada orang lain. Kedudukannya sebagai pengajar di Berlin sempat dipersoalkan oleh gereja Jerman karena pandangannya yang liberal mengenai mujizat Alkitab termasuk soal sifat sejarah kebangkitan Yesus.

Masa ketiga, perkembangan liberalisme sekalipun sempat direm sejenak oleh Karl Barth dengan Neo-Orthodoxinya, makin menjauhkan agama dari aspek transendennya. Teologi Liberal masa ketiga ini juga sering disebut sebagai

Pada masa ketiga ini berkembang studi Yesus Sejarah yang menafikan sifat supra-natural Yesus. F.C. Baur memperkenalkan pendekatan yang anti-theistic dan yang supranatural dalam hubungan dengan sejarah kekristenan. D.F. Strauss (Life of Jesus) menolak sama sekali dasar sejarah elemen supranatural dalam Injil. J.E. Renan (Life of Jesus) juga senada dengan Strauss dan lebih jauh menyebut Yesus terobsesi semangat revolusi, penganiayaan dan mati syahid. Albert Schweitzer (The Quest of the Historical Jesus) disatu sisi menyalahkan Strauss dan Renan karena mengabaikan aspek eschatologis tentang kerajaan Allah dan akhir zaman, tetapi disisi lain ia meneruskan pandangan mereka karena Yesus ditampilkan sebagai politikus agama yang pemarah yang membuat kesalahan besar dalam cara hidupnya. Arthur Drews (The Christ Myth) bahkan lebih jauh memperlakukan seluruh Injil sebagai cerita fiksi. Faham Yesus Sejarah ini diteruskan oleh Jesus Seminar sejak 1985.

Kecenderungan menafikan yang supranatural disebut juga sebagai (Gereja dan Aliran Modern), Saeculum adalah pandangan serta sikap hidup yang menanggalkan yang waktuwi itu dari yang abadi, yang menanggalkan yang profan dari yang sakral. ... Sedang Sekularisme ialah aliran dalam kultur, dalam mana seluruh perhatian dituntut untuk dunia ini dan untuk zaman ini dengan mengucilkan Allah serta Kerajaan-Nya. Encyclopedia Wikipedia menyebut Sekularitas adalah keberadaan yang bebas dari kwalitas keagamaan dan spiritualitas, dan Sekularisme yang terkait masa Pencerahan menegaskan tentang kebebasan agama dan bebas dari agama, dalam negara yang netral dalam hal menyangkut kepercayaan, dan tidak memberikan hak khusus atau subsidi kepada agama. Britannica menyebut Sekularisme sebagai gerakan dalam masyarakat yang ditujukan untuk menjauhkan diri dari yang diluar dunia dan kembali ke bumi.

Dalam hubungan dengan Liberalisme, Arend Theodoor van Leeuwen (Christianity in World History) menyebut Liberalisme adalah produk yang disekularisasikan dari peradaban Kristen. Dari ketiga istilah Liberalisme, Libertinisme dan Sekularisme, kita menjumpai nafas yang sama yang mendasari, yaitu membebaskan diri dari yang Aeternum dan hanya berurusan dengan yang Saeculum. Semangat sekularisme sudah terlihat dalam pemikiran Friedrich Nietzsche yang dikenal sebagai pelopor Teologi Kematian Tuhan (Death of God Theology). Ia bertitik tolak menafikan Tuhan yaitu pada Tuhan yang tidak ada, karena itu Manusia harus menentukan jalan hidupnya sendiri.

Dalam Rudolf Bultman kita melihat skeptikisme rasional dibentuk oleh existensialisme berusaha mendikotomikan Yesus Sejarah dari Yesus Iman dan menolak konsep the three deckers universe (bumi surga neraka) yang disebutnya mitos. Seluruh etos dan pemikiran Perjanjian Baru adalah mitos. Hal-hal yang bersifat transendental dipandang sebagai mitologi dan harus dimengerti secara existensial yang subyektip. Tugas manusia adalah mendemitologisasikan ajaran PB itu. Paul Tillich mengemukakan bahwa Injil harus ditelanjangi dari sifat non-existensialnya dan terbuka bagi istilah-istilah yang bermakna bagi manusia modern. Baginya, Tuhan adalah The Ground of all Being.

Teolog sekular selanjutnya lebih radikal menafikan yang supranatural. Dietrich Bonhoeffer dalam tulisan awalnya cukup konservatif dan kristosentris, namun pandangannya berubah radikal ketika ia dipenjara karena konspirasi membunuh Hitler. Dalam Letters from Prison ia menekankan kekristenan tanpa agama dan bahwa dunia sudah dewasa (world come of age) dan kekristenan telah kehilangan sifat keagamaannya. Manusia sudah dewasa sehingga tidak lagi perlu bergantung kepada yang disebut Allah. Lebih jauh John A.T. Robinson (Honest to God) mulai dengan keyakinan bahwa gagasan Allah di atas sana telah kuno, tidak bermakna lagi dan salah. Manusia dewasa harus meninggalkan konsep proyeksi figur ayah ke angkasa yang dipercaya itu.

Pada tahun 1960-an konsep Nietzche mengenai Kematian Allah bangkit kembali di kalangan beberapa teolog radikal. Paul van Buren (The Secular Meaning of the Gospel) mengungkapkan gagasan radikalnya, dan dari judul bukunya kita dapat mengetahui kemana arah radikalisme Gabriel Vahanian (The Death of God: The Culture of Our Post-Christian Era). Harvey Cox (The Secular City) menyinggung tema yang sama. Di kalangan Roma Katolik, Robert Adolfs (The Grave of God) sampai menerima kutukan dari masyarakat disekitarnya. Yang lebih radikal lagi kita temukan dalam tulisan Thomas J.J. Altizer (The Gospel of Christian Atheism).

Kelihatannya ada gejala menarik untuk diamati sebagai Masa Ke-empat yang bisa ditambahkan dalam tiga pembagian yang disebut Britannica, yaitu pada masa tahun 1960-an dibalik gencarnya Liberalisme Radikal yang bukan saja menafikan Allah tetapi menganggap Allah telah mati dan sudah dikubur, dunia mengalami kekosongan batin/rohani yang luar biasa yang dikenal dengan Era Posmo (Postmodernism) dimana ketika Modernisme tidak lagi memadai terjadi pencarian manusia kembali akan nilai-nilai transendental yang mereka cari dalam agama-agama mistik Timur (New Age). Di kalangan teolog Liberal ada juga usaha untuk kembali membuka diri kepada hal-hal yang dulu dinafikan, hanya sayangnya mereka tidak kembali kepada supranaturalisme Alkitab tetapi lari kepada mistikisme/gnostikisme yang dahulu dikritik oleh Bultman sebagai yang harus didemitologisasikan.

Bila semula Liberalisme mempunyai andil memperbaiki beberapa kekeliruan Konservativisme ekstrim, ia tidak memberi jalan keluar yang lebih baik, malah nafas kebebasan itu berangsur-angsur membawa manusia kepada peninggian diri dan akhirnya makin menafikan yang kekal dan Tuhan dalam bentuk Liberalisme yang makin ekstrim.